Nyaman, damai, tenang, home sweet home.
Bayangkan 12 jam yang lalu, apa yang terjadi di luar sana, saat dimana kejadian bulan Februari 2007 yang terulang lagi. Bedanya, kali ini kondisinya lebih parah.
Banjir siang ini, bukan karena tanpa sebab,tapi juga bukan salah siapa-siapa. Salah hujan? salah cuaca? salah global warming? Coba ngacung, diantara kita, ada yang bisa melawan alam? Nah, mingkem kan? (^.^) Jadi curah hujan yang sedang tinggi-tingginya , ekor badai Australia yang nyangkut di sepanjang pulau Jawa, jangan jadi kambing hitam penyebab banjir siang tadi ya.
Tulisannya Kompas 17 Jan 2013 yg mengutip pendapatnya Pak Sudibyakto. Butuh banjir kayak siang tadi untuk membuktikan tulisan ini dan pendapat saya 5 tahun yg lalu. |
Saya nggak mau membahas titik - titik banjir dan personil SAR yang terjun menangani korban, nggak mau dan malessss membahas para pengungsi yang terpaksa harus ninggalin rumah mereka. Bukan karena nggak empati atau nggak peduli, bukan juga karena kurang bahan tulisan dan informasi. semata, hanya karena saya capek dan kehabisan kata-kata soal ini. Sudah dari tahun 2008 (boleh cek di timeline) keluhan tentang tata kota Jakarta yang amburadul ini jadi makanan saya sehari-hari. Kejebak macet dan pemandangan jalan yang semrawut adalah rutinintas. Melihat lingkungan kumuh sub urban dan "penduduknya" setiap pulang kantor adalah kebiasaan. Katakanlah, lama kelamaan saya kebal. Dan mata saya mulai terbiasa melihat pemandangan yang demikian (walaupun mata hati saya selalu jejeritan). Tapi beneran deh, saya nggak tertarik membahas solusi dan penyebab banjir ini disini. Capek ciiinnnn... .
Banjir di Jakarta siang ini menurut saya cuma sekedar waktu yang berwujud akibat dari kelakuan puluhan taun yang sama sekali jauh dari simultan. Jadi, jangan kaget dan jangan mengeluh. Ini semua kan lingkaran yang hanya sedang kembali ke sumber dan asal mulanya. Buang sampah sembarangan, pemekaran lahan nggak pake aturan, tata kota berdasarkan "siapa yang punya uang", penggunaan lahan kosong untuk bangunan 47 lantai, utilisasi kendaraan bermotor pecah dari angka normal dan sebab lainnya yang sebetulnya....kita-kita juga pelakunya. Saya jadi gemes dan pengen mengupdate gambar amatir yang menunjukkan betapa tidak humanisnya pembangunana tata kota dan ruang di Jakarta. *update me later
Dan ternyata, pendapat saya ini di amin i oleh seorang entah siapa yang namanya Sudibyakto di Jogjakarta. Tadi pagi sewaktu baca tulisannya di Kompas 17 Jan 2013. sy cuma bisa menghela nafas. Antara pengen tertawa tapi nggak bisa menahan tangis karena sebel sama situasi banjir ini. Bahwa memang, terlalu kompleks untuk menyelesaikan masalah air bah masuk kota dalam waktu singkat. Bukan semata solusi tentang beton,sungai, pemukiman, tata kota and the blah and the blah and the blah...tapi harus juga menyangkut budaya, ngomongin sikap dan perilaku masyarakat dan kebiasaan. Hei, ngomongin hal-hal kayak "gitu" kan sama aja gomongin time frame up to 50-100 tahun. Nah...coba silakan dipikir-pikir lagi, kira-kira kapan permasalahan ini bakal kelar, dan dalam tenggat waktu hampir seabad tersebut, kemungkinan apa yang bisa terjadi. Sejauh mana dari titik sekarang, bangsa dan masyarakat Jakarta bisa berjalan. Apakah sekarang waktunya buang sampah pada tempatnya? Apakah sekarang waktunya memilih kendaraan umum daripada kendaraan pribadi (walaupun tingkat kenyamanan dan keamanan public transport di Indonesia juga masih harus dipertanyakan)? Apakah sekarang waktunya menghentikan pembangunan gedung 45 lantai?
Kalo mengutip perkalimatanya kang Prie GS : sekalipun harus tidak menjadikannya sebagai Ibukota, if that should it takes to protect Jakarta... menurut gue : so be it!
*sementara diluar, hujan mulai turun lagi dengan derasnya.