3 Agustus 2009, 14.30, Didalam mobil kebesaran bersama, terjebak macetnya SCBD.
Saya, Derry, Sonya, Vita, Upi dan Pak Sanudi (driver) sedang dalam perjalanan menuju Ambassador, lalu tiba-tiba terlibat dalam pembicaraan yang sama sekali nggak penting tapi cukup seru dan menyenangkan.
Semua ini dimulai dari adegan motor yang motong jalan dari kanan ke kiri tanpa lampu sen dan klakson. Pak Sanudi kaget, dan ngerem mendadak.
ccciiiiittttt....!
(Derry & Pak Sanudi kaget bareng)
Derry : A**i** lo!? Matanya dipake doong!
Pak Sanudi : Astaghfirullah....
eeeh, trus ada yg nyamber...
Sonya : Tu orang belum pernah ngerasain di tabrak mobil kali yaaa???
Saya : Aduh pak, jalannya pelan-pelan aja kalii...
Pak Sanudi : Ini kan udah jalan pelan mbak, lha wong jalanan macet begini, mana bisa ngebut...?
Lalu hening selama dua detik.
(nggak papa kok kalo nggak bisa dibilang "hening" , karena sebenarnya dua detik terlalu lama buat kami berenam untuk menutup mulut :P)
Upi memecah "keheningan"
Upi : Emang ya, mulutnya nggak bisa kalo nggak komentar.
Saya : Hihihi, biasanya orang tuh ngomong dulu baru mikir Pi. Namanya juga reaksi spontan karena kaget. Motornya slonong boy didepan mata! Untung pak sanudi sempet ngeliat trus ngerem. Kalo nggak udah ciuman dah tu motor sama bemper mobil!
Upi : Mbak, sebenernya mata ama mulut dosanya gedean mana sih?
Deg! saya sempat terhenyak sesaat, tapi lagi-lagi, "ngomong dulu baru mikir" terjadi secara refleks.
Saya: Ya mulut lah, udah sering bunyi yang nggak penting, sering komentar yang nggak perlu pula.
Vita : Tapi kan mulut nggak akan bunyi kalo mata nggak "ngeliat" duluan Den!
Derry : Mata sama kuping sama aja! Mulut juga nggak akan bunyi kalo kuping nggak "denger" duluan!
Upi : Jadi, mata apa kuping apa mulut neh yang dosanya paling gede?
Saya yang tadi yakin bahwa mulut ini dosanya paling gede jadi ragu-ragu sendiri. Iya juga ya, mata sama kuping harus bekerja duluan baru mulut bisa bunyi. Tapi....
Saya : ...Tapi kalo ngeliat trus ngebatin doang, apa mulutnya jadi dosa juga?
Sonya : Ya itu tandanya hati sama kepala lo yang dosa. Nah lo ngebatinnya di kepala apa di hati?
Yang lain ketawa semua...
Saya : Eh, beneran nih....mendingan kalo kesel dibatin apa dikeluarin aja sih sebenernya?
Pak Sanudi : Kalo menurut saya nih mbak....nggak ada bedanya antara dibatin sama diungkapkan. Yang namanya marah ya marah aja. Cuma soal waktu kok, orang lain lama- kelamaan akan sadar kalo sikap orang yg ngebatin itu sebenernya nggak bener-bener diem.
Upi : Hahaha, pertanyaan gw nggak ada yang bisa jawab kan, antara mata , mulut sama kuping, mana yang dosanya paling gede?
Saya : Gw tambahin deh kalo gitu, mana yang dosanya lebih gede : kepala atau hati lo yang ngebatin sambil marah2 tapi mulutnya diem aja, atau mulut lo yang nyanyi? Dua-duanya sambil marah lho...!?
My bedroom, 10.06pm
Percakapan tadi sedikit banyak membekas dikepala, karena malam ini saya jadi kepikiran. Kalau lagi blogging kayak sekarang ini, terus tangan & jari menari-nari di keyboard untuk menuliskan sesuatu yang sifatnya komentar, apa kemudian jari dan tangan ini jadi berdosa juga? Kan semua kalimat itu adanya di otak didalam kepala , tangan hanya melakukan apa yang diperintahkan otak... Nah loh, kepala (otak) saya jadi kecipratan dosa juga dong??
Cyape deh :) Lagipula, siapa kita manusia, bisakah menentukan "dosa" atau "nggak berdosa" untuk sesama manusia lainnya? Well, barang siapa merasa dirinya tidak pernah berbuat dosa, silakan mengacungkan jari...===lalu silakan melempar batu (kepada perempuan itu) pertama kali.===
Anyway, saya senang mendapati kami berenam berbincang-bincang nggak mutu begini. Sadar bahwa ternyata nggak ada beban waktu kami dengan bebas mengungkapkan pendapat kami tentang bagaimana seharusnya menyikapi rasa marah, sebel dan kesel karena sesuatu. Saya melihat bahwa mereka cukup terbuka dengan berbagai cara mengekspresikan kekesalan. Mau dibatin, mau diungkapkan, just do it. Yang namanya marah (dan perasaan lainnya seperti senang, gembira, sedih, jatuh cinta, benci, dendam, iri hati, sayang, kangen dll) kan nggak bisa kita minta untuk datang dan pergi sesuka hati. Kecuali kita robot yang punya saklar on-off. Selama masih ada label "manusia" di jidat, ya....rasa itu akan tetap ada. Just feel free to feel it freely :)
Yang benar menurut saya adalah : kita tau bagaimana cara untuk mengendalikannya. Semua rasa yang dikasih Tuhan itu nggak ada yang salah. Menjadi tidak benar jika perasaan itu mulai bersinggungan dengan (kepentingan) orang lain. Kita boleh gembira sampe mati ketawa, tapi jangan ajak orang lain ikutan mati karena sesuatu yg bikin kita ketawa. Kita boleh sedih dan nangis bombay, tapi jangan bikin orang lain jadi nangis berderai-derai karena ikutan sedih. Kita boleh marah ngamuk-ngamuk, tapi usahakan jangan sampai ada piring terbang, pukul meja, :P Bahkan untuk kabar gembira yang kita bawa untuk orang lain pun, ada waktu dan cara yang harus dimengerti terlebih dahulu baru kemudian dilakukan pada saat yang tepat. Bahagia kita kan belum tentu tawa orang lain, atau tangis kita kan bisa jadi angin lalu buat orang lain, atau sedih kita kan bisa jadi sedih yg menyakiti orang lain... Just the way daily email yg dikirim Benedicta pagi ini, mengingatkan bahwa setiap orang itu diciptakan unik dan berbeda. That's the fact honey! Untuk menerima kelebihan orang itu gampang, karena kita nggak harus melebarkan batas toleransi dan menekan ego. Tapi menerima kekurangan orang lain? hehehe....banyak juga manusia yang butuh seumur hidup untuk belajar melakukan hal ini.
Intinya adalah : be the real you, karena kita ini seberharga apa adanya kita saat ini,
nggak kurang dan nggak lebih.
Someone will see it and thanks God for you.
Intinya lagi adalah : Kalo naik motor di jalan jangan slonong boy yah, bikin orang lain jadi kesel..
Jadi intinya melulu aaah....gimana sih..?
^_^
Wow ....sebuah kisah ringan yang mengandung makna mencerahkan ...
BalasHapusnice sharing ...